KPU Terkunci Tak Bisa Revisi PKPU Terkait Pendaftaran Anies oleh PDIP Sesuai Keputusan MK

Foto-INT/IST-Gedung DPR RI, Gedung KPU, dan Gedung MK-INT/IST

REVISI UU Pilkada ini tidak mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana mestinya. ada kemungkinan PDIP akan mencalonkan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024

 

Oleh : Sugiyanto (SGY)

Aktivis Senior Jakarta

Anggota PDIP, Masinton Pasaribu, menegaskan bahwa PDIP akan tetap mengusung calon di Pilgub Jakarta 2024, meskipun DPR dan pemerintah telah merevisi UU Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024. Revisi UU Pilkada ini tidak mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana mestinya. ada kemungkinan PDIP akan mencalonkan Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024.

Sebelumnya, pada Senin, 19 Agustus 2024, Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus secara resmi mengusung Ridwan Kamil (RK) dan Suswono untuk maju dalam Pilgub Jakarta 2024. Deklarasi ini dilaksanakan di Hotel Sultan, Senayan, Jakarta, dan dihadiri oleh dua belas partai politik. 

PKS, NasDem, dan PKB, yang awalnya mendukung Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta, kini bergabung dengan KIM Plus. Saat ini, hanya PDIP yang tidak dengan KIM Plus. PDIP memiliki 15 kursi di DPRD DKI Jakarta, sementara untuk mengusung Anies Baswedan sebagai calon gubernur, diperlukan dukungan minimum 22 kursi.

Di tengah situasi genting ini, pada Selasa, 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat keputusan yang menghebohkan dunia politik tanah air. MK mengubah ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah oleh partai politik (parpol) melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. 

Dalam putusan itu, MK menyatakan bahwa Pasal 40 (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur ambang batas minimal 20% jumlah kursi atau 25% akumulasi perolehan suara sah dalam DPRD, adalah inkonstitusional. Ketua Majelis Hakim MK, Suhartoyo, menjelaskan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Pilkada tidak memiliki kekuatan hukum mengikat jika dimaknai berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) di provinsi atau kabupaten/kota. 

Salah satu ketentuan baru MK adalah bahwa untuk provinsi dengan jumlah penduduk pada DPT antara 6 hingga 12 juta jiwa, parpol atau gabungan parpol harus memperoleh suara sah minimal 7,5% di provinsi tersebut. Artinya, PDIP di DKI Jakarta dapat mengusung calon sendiri, karena perolehan suaranya melebihi 7,5%.

Meskipun keputusan MK bersifat final dan mengikat serta berlaku sejak diucapkan, implementasinya tidak bisa serta merta dilakukan oleh KPU DKI Jakarta tanpa adanya perubahan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terlebih dahulu oleh KPU Pusat. PKPU yang menjadi dasar saat ini adalah PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. PKPU ini didasarkan pada Pasal 40 (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 yang masih mensyaratkan dukungan minimum 22 kursi DPRD DKI Jakarta. 

Untuk mengubah PKPU tersebut, KPU Pusat harus berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Namun, masalahnya sekarang adalah DPR RI dan pemerintah telah sepakat membuat norma baru yang berbeda dengan keputusan MK tersebut tentang pendaftaran calon Pilkada pada Rabu, 21 Agustus 2024. Dengan demikian, KPU Pusat tidak akan berani mengubah PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Akibatnya, KPU Provinsi DKI Jakarta kemungkinan besar tidak akan berani menerima pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur berdasarkan keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024.

Beberapa preseden negatif juga menjadi dasar bagi KPU Provinsi untuk menolak pendaftaran calon yang merujuk pada keputusan MK tersebut. Salah satunya adalah insiden ketika seluruh komisioner KPU RI diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) oleh sekelompok masyarakat. 

 

Ketika itu, masyarakat pengadu meminta DKPP untuk memberhentikan seluruh komisioner KPU RI karena dianggap melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran dan menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden tanpa adanya revisi PKPU terlebih dahulu. Akibatnya, DKPP memberikan sanksi peringatan keras kepada Ketua KPU, Hasyim Asy'ari, dan enam anggotanya.

 

Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa KPU Provinsi DKI Jakarta akan menolak pendaftaran calon gubernur dan wakil gubernur dari partai mana pun berdasarkan keputusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, kecuali jika KPU Pusat mengubah PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Namun, saat ini KPU Pusat terkunci karena adanya keputusan baru dari DPR-RI dan Pemerintah yang berbeda dengan keputusan MK tersebut.

Dalam situasi seperti ini, tidak ada gunanya saling menyalahkan. DPR RI tidak bisa menyalahkan MK atas putusan yang bertentangan dengan undang-undang yang dibuat oleh DPR RI dan Pemerintah, karena hal itu merupakan kewenangan MK. Di sisi lain, MK juga tidak bisa menyalahkan DPR RI dan Pemerintah atas pembuatan norma baru yang berbeda dari keputusan MK, karena salah satu fungsi DPR RI adalah membuat atau mengubah undang-undang.

Kata kuncinya adalah perlunya koordinasi yang sangat kuat antar lembaga negara untuk menciptakan keseimbangan politik, sosial, dan lainnya secara menyeluruh. Kejadian ini merupakan pencerahan luar biasa bagi semua lembaga negara, termasuk masyarakat. Penting bagi kita semua untuk mengambil pelajaran berharga dari peristiwa ini tanpa perlu saling menyalahkan.